Selasa, 25 Juni 2013

Penyebab anak malas membaca



Beberapa Faktor Penyebab Anak Malas Belajar
Memahami anak sebagai individu yang sedang menjalani tahapan-tahapan dalam masa pertumbuhannya, diperlukan kesabaran ekstra. Demikian pula ketika mendapati anak yang telah memasuki usia sekolah begitu malas belajar. Mengandalkan guru untuk menyelesaikan masalah? Tentu tak bisa begitu.
Apalagi bila kita menyadari bahwa anak sesungguhnya memulai pendidikannya dari rumah. Sehingga, peran orangtua untuk membantu secara langsung kesulitan yang dialami anak merupakan hal yang sangat penting. Mencari penyebabnya adalah langkah awal untuk menerapkan solusi yang tepat.
Robert D. Carpenter MD adalah seorang peneliti yang pernah mengadakan pengamatan terhadap perkembangan belajar murid sekolah dasar di California, Amerika Serikat. Dalam pengamatannya ditemukan adanya penyebab mengapa anak-anak kerap mengalami masalah dalam belajar yang cenderung membuat mereka jadi malas. Berikut ini empat penyebab yang kerap terjadi dan menyebabkan anak malas belajar.

1. Komunikasi tidak efektif
Ingat, target kita berkomunikasi adalah memastikan bahwa ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada penerima pesan (anak) diterima dengan benar. Tentu orangtua ingin agar anak mengerti, menyukai dan melakukan apa-apa yang dipikirkan orangtua. Komunikasi yang efektif juga bisa mengungkapkan kehangatan dan kasih sayang orangtua, misalnya, “Ayah bangga sekali, kamu sudah berusaha keras belajar di semester ini.”

Coba ingat-ingat bagaimana pola komunikasi yang kita bangun selama ini. Sudahkah anak-anak menangkap pesan yang kita sampaikan sesuai dengan yang kita maksud?

Seringkali orangtua lupa menyampaikan ‘isi’ dari pesannya, tapi lebih banyak merembet pada hal-hal yang sebenarnya di luar maksud utamanya. Misal, nilai ulangan harian anak di bawah rata-rata teman sekelasnya. Tanpa bertanya terlebih dulu kepada anak kenapa nilainya jelek, Ibu langsung komentar, “Itulah akibatnya kalau kamu nggak nurut Ibu. Main melulu sih. Ibu tuh dulu waktu sekolah nggak pernah dapat nilai 6. Kamu kok nilainya jelek begini. Gimana sih?” Apa inti pesan yang disampaikan Ibu? Anak salah karena nilainya jelek dan semakin salah karena Ibu selalu membandingkan anak dengan keadaan Ibunya sewaktu sekolah. Akibatnya, anak akan berpendapat, “Ah, nggak ada gunanya bilang ke Ibu kalau nilai jelek. Nanti pasti dimarahin.”

Padahal, mengetahui nilai anak yang di bawah rata-rata buat orangtua sangat penting untuk mengevaluasi penyebabnya. “Wah, nilai anak saya untuk mata pelajaran matematika kenapa selalu jelek ya? Apa yang perlu dibantu?” Sederet pertanyaan itu bisa terjawab bila kita berkomunikasi secara efektif, bukan menyalah-nyalahkan anak. Bila penyebab bisa segera diketahui, maka orangtua bisa mencari solusinya dan melakukan perbaikan.

Komunikasi yang tidak efektif yang berjalan selama bertahun-tahun, astinya akan berdampak negatif pada pembentukan karakter anak. Padahal, salah satu fungsi komunikasi adalah untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan pola seperti itu akan membuat anak bingung dalam mengenali dirinya sendiri dan orangtuanya. ‘Apa sih sebenarnya maunya Ayah/Ibu?’ Kebingungan i mengakibatkan dalam diri anak tidak tumbuh motivasi kuat untuk berprestasi, toh mereka tak tahu apa gunanya mereka belajar.

2. Orang Tua Terlalu Memaksakan Kehendak
‘Pokoknya kamu harus ranking satu. Dulu, ayah sekolah jalan kaki, tapi selalu ranking satu. Kenapa kamu nggak bisa?’ Menekankan dengan kalimat, ‘pokoknya’, ‘seharusnya’, dan kata sejenis lainnya menunjukkan tidak adanya celah untuk pilihan lain.

Orang Tua yang Terlalu Memaksakan Kehendak membuat anak sulit mengemukakan pendapatnya. Bahkan, sulit mengetahui potensi dirinya sendiri, apalagi mengoptimalkan potensinya. Kecenderungan tak terbantahkan ini kalau berlanjut terus bisa menjurus pada upaya memaksakan kehendak orangtua pada anak. Misalnya, “Nanti kamu harus jadi dokter.” Kalaupun akhirnya anak mengikuti kehendak orangtuanya kuliah di fakultas kedokteran, ia akan menjalaninya dengan setengah hati. Bisa jadi, hanya setahun dijalani, selanjutnya keluar karena bertentangan dengan keinginannya. Tentu kita tak ingin ini terjadi bukan?

3. Target tidak pas
Target yang tidak pas, bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi dari kemampuannya. Jangan sampai memaksakan begitu banyak kegiatan pada seorang anak sehingga mereka jadi jenuh dan terlalu lelah. Akibat overaktivitas, banyak anak yang kemudian mulai meninggalkan belajar sebagai kegiatan yang seharusnya paling utama.

Di sinilah peranan orangtua sangat penting, jangan sampai terlalu memaksa anak dengan harapan agar mereka dapat menuai prestasi sebanyak-banyaknya. Mereka didaftarkan pada berbagai macam kursus atau les privat tanpa mengetahui bahwa batas IQ seorang anak tidak memungkinkannya menerima berbagai macam kegiatan yang disodorkan oleh orangtua.

Namun, sebaliknya bagi anak yang memiliki IQ tinggi, juga perlu penanganan khusus, karena mereka tidak cukup dengan target regular untuk anak lainnya. Mereka membutuhkan tantangan lebih supaya potensinya teroptimalkan. Untuk mengetahui potensi ini, orangtua perlu bantuan psikolog.

4. Aturan dan hukuman yang tidak mendidik
Terlalu ketat dalam rutinitas harian bisa menyebabkan akhirnya anak malas belajar. Namun, sebaliknya tanpa membuat rutinitas harian anak tidak terbiasa memiliki jadwal belajar yang harus dipatuhinya. Jalan tengahnya, rutinitas tidak bisa ditetapkan secara sepihak oleh orangtua, namun dibangun bersama-sama.

Membuat aturan juga harus diikuti dengan konsekuensi. Jadi, anak dapat mengerti apa hubungannya antara kepatuhan menjalani aturan dengan konsekuensinya, bukan sekadar hukuman yang tidak mendidik, seperti hukuman cubitan bila dapat nilai jelek

Bagi anak usia SD ke atas, orangtua perlu mendiskusikannya dengan anak. Aturan tersebut ditandatangani dan dipasang di dekat meja belajar. Misal, 1) Belajar sehabis shalat Maghrib sampai Isya; 2) Boleh nonton Avatar pada minggu pagi; 3) Main PS paling lama 2 jam di hari libur; 4) dan seterusnya.

Jangan bosan juga untuk meng-up date kesepakatan dan mengingatkan kalau ada yang melanggar. Ingatkan juga akan konsekwensinya, misalnya “Belajar yuk! Kemarin kita sepakat kan kalau nggak belajar, gimana hayo?”

Biarkan anak menjawab konsekwensinya. Jika aturan itu sudah dibuat bersama, pasti anak ingat akan konsekwensinya. Harapannya, kesadaran untuk belajar akan tumbuh dari dalam diri anak, bukan dipaksakan orangtua. Tidak ada lagi hukuman yang tidak mendidik, karena hukuman akan

Minggu, 23 Juni 2013

Pernikahan Dini

Pengertian Pernikahan Dini
‘pernikahan dini adalah sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono. Beliau mengartikan pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif. Sedangkan Al-Qur'an mengistilahkan ikatan pernikahan dengan "mistaqan ghalizhan", artinya perjanjian kokoh atau agung yang diikat dengan sumpah.
Menurut Lutfi Pernikahan dini yaitu merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja (belum cukum umur 12-19) dalam satu ikatan keluarga.
Menurut Nukman Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan yaitu antara 15-19 tahun.
Dari berbagai pengertian diatas menurut penulis yang dimaksud pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan ketika masih remaja atau dibawah usia baik secara biologis, medis dan sosiologis, yang dilihat dari kematangan fisikisnya belum mampu untuk mengemban dan mengarungi bahtera kehudupan rumah tangga.
Pernikahan dini pada kalangan remaja, akhir-akhir ini terjadi. Hal itu disebabkan oleh berbagai alasan. Realita yang sering kita temui, penyebab pernikahan dini adalah karena kecelakaan. Hal itu karena sang lelaki merasa bertanggung jawab terhadap pacarnya yang hamil du luar nikah.
B. Faktor Penyebab Pernikahan dini
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebagaiberikut:
1. Faktor Pemahaman Agama
Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelis hakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak yang saling suka sama suka dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.
2. Faktor pribadi
Dalam sebuah dialog antar remaja psikolog yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun radio swasta di Jakarta, seorang remaja laki-laki usia 19 tahun bercerita kepada penyiarnya : "Saya terpaksa menikah karena terlanjur melakukan hubungan intim hingga pacar saya hamil." Lalu, "Apa yang terjadi setelah menikah?" tanya sang penyiar tadi. "Dunia berubah 180 derajat. Dari bangun sembarangan harus berangkat pagi untuk bekerja. Belum lagi, siang malam anak saya menangis, hingga kami tidak bisa tidur barang sekejap pun".
Dari dialog tersebut, kita dapat mengetahui bahwa salah satu penyebabnya dari faktor pribadi adalah karena seks bebas yang mengakibatkan hamil duluar nikah. Sehingga akhirnya mereka melakukan pernikahan dini untuk menutupi dosa tersebut.
3. Faktor keluarga
Kian maraknya seks bebas di kalangan remaja dan dewasa muda, maupun meningkatnya angka aborsi setidaknya menjadi indikator tingkat pergaulan bebas sudah berada pada tahap mengkhawatirkan dan harus segera dipikirkan solusinya.
Salah satu jalan, walaupun bukan yang mutlak adalah menikahkan pasangan remaja di usia dini. Artinya, bagi mereka yang telah mantap dengan pasangannya, dianjurkan untuk segera meresmikannya dalam sebuah ikatan pernikahan. Sekalipun keduanya masih menempuh pendidikan atau di bawah usia ideal. Hal ini untuk menghindari dampak buruk dari keintiman hubungan lawan jenis. Begitu kata orang tua.
4. Faktor adat dan budaya
Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU.
Dari berbagai faktor diatas yang mengakibatkan remaja-remaja harus melakukan pernikahan dini yang sebenarnya masih banyak hal yang harus mereka dapatkan sebagai bekal mereka di kemudian hari, tapi justru sebaliknya mereka harus menghadapi dunia rumah tangga dengan begitu cepat.
C. Dampak Negatif Pernikahan Dini
Tanpa kita sadari ada banyak dampak dari pernikahan dini. Ada yang berdampak bagi kesehatan, adapula yang berdampak bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja. Dibawah ini akan diuraikan dari setiap dampak tersebut:
1. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
2. Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
3. Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
Berbicara masalah dampak yang di timbulkan akibat Nikah Dini sebenarnya sangat bayak, mulai dari dampak rumah tangga, suami, istri, anak, dan lain-lain. Akan tetapi penulis hanya menjelaskan dampak secara umum saja, mengingat hal tersebut sebenarnya secara tidak langsung telah menyinggung apa-apa yang di paparkan diatas.
Islam telah menetapkan hukum-hukum preventif agar para pemuda dan pemudi terhindar dari rangsangan dan godaan untuk berbuat maksiat. Cara tersebut yaitu menikah. Walaupun harus melakukan pernikahan dini. Hal itu bila tiadak dianggap beban, tentu saja tidak akan sulit bila dijalani.

Senin, 03 Juni 2013

membaca itu penting



Membaca itu penting
Saat kita dihadapkan pada setumpuk buku.Apa yang terjadi…pasti 8 dari 10 orang akan memilih lainnya dari pada membaca,hal itu tidak bisa dipungkiri lagi.Minat baca kita terutama anak didik sudah mulai terkikis,mereka lebih suka melihat,mendengarkan saja.Jangankan membaca setumpuk,hanya satu buku saja kita seperti tidak ada waktu.Kecenderungan orang sekarang adalah mendapatkan pengetahuan secara instan.Itulah kebiasaan buruk kita,malas adalah penyakit utama yang membuat keberhasilan kita tertunda.Hal ini terbukti,setiap keberhasilan yang kita tuai adalah sebuah usaha yang tak kenal malas.
            Begitu juga saat kita mencari ilmu.Rasa malas harus kita buang jauh – jauh saat kita memiliki tekad untuk mencari ilmu.Rasa malas dapat mempengaruhi niat kita dalam mencari ilmu.Tahukah kalian,bahwa 85%  ilmu terdapat dalam tingkat membaca kita.sisanya 15% kita peroleh dari pengalaman.Membaca adalah kewajiban kita dalam menimba ilmu.Dahulu jaman nenek moyang kita dulu,sebelum mengenal tulisan,mereka berusaha berinteraksi dan berkomunikasi melalui bahasa yang mereka pahami sendiri.Mereka terus berevolusi hingga seperti sekarang.Berbagai macam tulisan,bahasa mulai muncul beragam,kita dipaksa terus untuk untuk mempelajarinya,agar kita mampu berevolusi terus sesuai perkembangan jaman.Kita bisa memecahkan misteri kehidupan dengan belajar.Tentunya membaca lebih dominan,membaca adalah kunci utama mereka karena itulah mereka mampu membuka tabir.
            Membaca tidak harus dengan buku – buku tebal,kita bisa menambah ilmu membaca dengan bacaan Koran,majalah,tabloid,artikel,novel dan macam lainnya.Karena pada dasarnya segala macam bacaan apapun adalah ilmu.Kita perlu membaca sebanyak – banyaknya,karena ilmu yang kita miliki juga harus ditambah dan ditambah.kita tidak boleh cukup puas dengan hasil yang kita dapat,.berusaha dan berusaha terus adalah kunci kesuksesan.Dan tidak kalah pentingnya juga  jangan lupa untuk mengamalkan ilmu yang telah kita dapat.
            Diumpamakan seperti makanan yang kita lahap,apabila kita hanya makan nasi saja,pasti rasanya hambar,dalam makanan yang kita konsumsi seperti nasi.Ada penunjang lainnya,lauk-pauk,sayur-mayur dan segelas air atau susu.Begitu juga dengan membaca,di umpamakan seperti sepiring nasi yang lengkap dengan lauk pauk serta sayur mayurnya.Agar nikmat kita belajar membaca dan memperoleh ilmu tadi akan terasa lengkap kalau kita membaginya dengan menularkannya pada yang lain.Agar bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
            Dari uraian membaca sebagai kewajiban kita.Maka tak heran sebuah pepatah mengatakan:Buku Adalah jendela Ilmu.Ilmu adalah jendela dunia,semakin kita membuka jendela ilmu itu semakin besar dan nyata dan besar pula cakrawala menyambutnya.Banyak baca banyak tahu,banyak ilmu makin maju.